BANK ISLAM ADALAH RIBA Artikel dari: http://www.islamhariini.org/esoteric/esoAR02.htm
ADA APA DI BALIK 'BANK ISLAM'
oleh Prof. Umar Ibrahim Vadillo
Apa yang disebut-sebut sebagai 'Bank Islam' tidak lain merupakan bagian dari institusi ribawi yang bertentangan dengan Islam. 'Bank Islam' merupakan suatu usaha aneh untuk menggoyahkan, sebagai mana yang terjadi dalam kristen, sikap tegas Islam dalam menolak riba selama 14 abad.
Sejak awal, keberadaan 'Bank Islam' telah didukung dan dianjurkan oleh para pelaku riba. Tujuan mereka hanyalah untuk membawa berjuta-juta umat Muslim di seluruh dunia - yang secara umum akan menolak penggunaan bank dan segenap institusi ribawi- ke dalam sistem moneter dan finansial internasional. 'Negara Islam' adalah salah satu rekaan dari kekuatan kolonial, dimana istilah ini memiliki arti yang bertolak belakang dengan Islam, dan memiliki sifat anti Islam, yang bermuara pada berakhirnya penjajahan kolonial secara wilayah dan dimulainya penjajahan kolonial gaya baru melalui sistem finansial.
Lembaga konstitusi model barat (yang menjadi model bagi Revolusi Perancis), telah melahirkan sistem pembatasan alam yang tidak tidak masuk akal, terciptanya sebuah sistem birokrasi parlemen yang represif, diperkenalkannya pajak, hadirnya sebuah penipuan besar dimana penggunaan uang kertas dan riba (bank) dilegalisasikan - semua ini bertentangan dengan Islam. Maka 'Bank Islam' tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah produk khas yang jahat dan rendah dari 'Negara Islam'.
Untuk memasyarakatkan 'Bank Islam', sebuah ilmu baru yang dikenal sebagai 'Ekonomi Islam' diperkenalkan oleh berbagai universitas-universitas di Amerika dan Eropa. Walaupun kedua konsep ekonomi yang tidak mempunyai hubungan satu sama lain ini salah dan dipandang rendah oleh kalangan Muslim yang memegang teguh tradisi Islam, tidak dapat dipungkiri bahwa kedua konsep ini telah menjadi suatu dasar pembenaran yang dipakai oleh para birokrat dan pengelola negara yang mengusung konsep 'Islam Modern'. Para ekonom Islam yang mengenyam pendidikan kelas dua dari berbagai universitas Barat tidak akan dapat melihat bagaimana pondasi ekonomi telah diporak-porandakan secara keilmuan untuk kemudian dipraktekkan di Eropa.
Pemikiran rasional dari sebuah ilmu positif yang banyak dipertanyakan di Eropa ini malah dibela mati-matian oleh para birokrat baru yang masih terpesona oleh pendidikan yang mereka terima dari barat . Bahwa banyak kalangan yang mendukung gerakan modernisasi ini memiliki ketulusan, seberapapun naifnya, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat ditolak, waktu dan kedewasaan akan menujukkan sisi lain yang pahit dari ideologi dan ilmu modern yang mereka percayai ini. Kembali kepada tradisi Islam bukan hanya menjadi obat terbaik guna melawan gerakan modernisasi di banyak negeri Muslim, bahkan di tangan sejumlah generasi muda Muslim barat, kembali kepada Islam telah mengasilkan sesuatu yang melampaui modernisme dan puncak dari peradaban Eropa yang kita kenal selama ini.
Berbeda dengan kebingungan yang dihasilkan oleh para modernis, posisi dan sikap Shari'at Islam sudah jelas dan tidak menimbulkan pertentangan.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya"
(Qur'an, al-Baqarah, 278-279)
Dari ayat ini jelas sudah bahwa Muslimin tidak hanya wajib meninggalkan riba, akan tetapi ia juga wajib memeranginya. 'Bank Islam' merupakan institusi riba, dan sebagaimana institusi riba lainnya, wajib ditolak dan diperangi. Selain dari kebohongan dibalik nama 'Bank Islam', kita dapat menjabarkan, paling tidak tiga alasan, mengapa praktek ini merupakan praktek ribawi.
A. Penciptaan dan Pemakaian Uang Kertas yang Merupakan Praktek Monopoli
Shari'at melarang pemaksaan penggunaan satu mata uang dalam perdagangan; secara jelas dinyatakan dalam Shari'at bahwa uang adalah sesuatu yang diterima oleh masyarakat dan memiliki nilai nyata sebagai alat tukar. Jika kita menyatakan bahwa uang kertas yang memiliki sifat monopolistik, yang tidak memiliki nilai komoditas apapun dimana nilai yang dimilikinya merupakan hasil yang dipaksakan oleh hukum suatu negara, maka jelaslah sudah bahwa praktek uang kertas ini tidak memiliki hubungan apapun dengan Deen Islam. Melihat kepada kenyataan bahwa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak menggunakan sistem moneter uang kertas, merupakan suatu bukti bahwa kaum Muslim dewasa ini hidup tanpa adanya pemerintahan Islam yang otentik.
Tidak ada satu alasan strategis dan politis yang dapat menjustifikasi pemak saan penggunaan uang kertas sebagai bagian dari pemerintahan Islam, hal ini terjadi kerena pemaksaan tersebut didasari oleh penipuan terhadap orang-orang yang menginginkan kehadiran pemerintahan Islam yang sah; lebih jauh, adalah suatu kontradiksi jka sebuah pemerintahan yang adil dan bijaksana membiayai dirinya dengan cara merampok rakyatnya sendiri.
Penggunaan uang kertas oleh institusi manapun bertentangan dengan Islam. Dalam kasus bank, kita dapat menambahkan satu elemen yang bertentangan ini - salah satunya adalah kemampuan bank untuk menciptakan uang kertas secara bebas dengan memberikan kredit - tidak perduli apakah uang kertas ini digunakan untuk suatu usaha yang sah atau pinjaman riba. Menggunakan pinjaman sebagai metode penambahan modal secara artifisial dilarang oleh Shari'at.
"Tidak diizinkan untuk membayar pinjaman dengan cara meminta si peminjam untuk menerima pembayaran dari pihak ketiga yang berhutang kepada si peminjam" Jelaslah bahwa tidak diizinkan untuk membayar hutang dengan hutang
"Tidak diperkenankan atas kamu untuk menjual sesuatu yang tidak kamu miliki, dimana kamu menyatakan hak atasnya dan memberikan kepada si pembeli" ('Al-Risala' of Ibn Abi Zaid al-Qayrawani, bab 34)
Imam Malik berkata: 'Tidak diperkenankan atas seseorang untuk membeli/memindahkan hutang orang lain, dengan atau tanpa kehadiran orang tersebut, tanpa sepengetahuan orang yang dihutangi. Sesungguhnya ia telah membeli sesuatu yang tidak ada jaminan atasnya dan penuh keraguan, jika transaksi ini tidak dapat dipenuhi apa yang telah dibayarkan akan kehilangan nilainya. Transaksi ini meragukan dan tidak memiliki kebaikan' (al Muwatta, Bab 31)
Konfirmasi dari sebuah hutang menjadikan hutang tersebut tidak boleh dialihkan; konfirmasi terjadi dibarengi dengan janji/jaminan bahwa hutang akan dan dapat dibayar. Dengan kata lain, sebuah ringatan akan dikeluarkan terhadap seseorang yang memiliki hutang yang tak dapat dibayar dan ingin memindahkan hutang ini ke pihak lain. Kondisi ini tidak diperbolehkan.
Imam Malik menunjukkan perbedaan antara seseorang yang berhutang atas apa yang ia miliki dengan seseorang yang berhutang atas sesuatu yang ia tidak miliki, bentuk hutang yang disebut terakhir ini tidak dianjurkan karena dapat mengarah ke riba dan penipuan (al Muwatta, bab 31), seperti yang terjadi pada sistem perbankan. Shari'at melarang adanya komersialisasi dan penggandaan hutang. Maka, usaha perbankan seperti di atas tidak dapat diterima dalam Islam; Satu-satunya fungsi yang dapat dijalankan oleh instutisi seperti ini adalah untuk transfer uang tanpa adanya penambahan apapun terhadap nilai awal uang tersebut.
B. Pemaksaan Hak Kepemilikan
Alasan kedua tidak Islamnya 'Bank Islam' adalah sifat hak kepemilikannya yang bergantung kepada struktur undang-undang. Dalam Islam, sebuah perjanjian usaha/dagang harus dapat menjamin identitas dan hak kepemilikan yang bermuara pada kepercayaan dan rasa hormat terhadap hak ini. Dengan demikian ada dua bentuk perjanjian usaha/dagang bagi dua orang atau lebih:
Perjanjian pinjaman usaha (qirad), dimana pemilik modal memberikan kepercayaan atas barang/investasi yang ia miliki kepada seseorang yang ditunjuk sebagai agen dalam menjalankan usahanya.
Kepemilikan bersama, dimana beberapa pemilik modal membuat suatu kesepakatan dalam menjalankan suatu usaha/perdagangan (dalam bentuk suatu perjanjian), dalam hal ini kepemilikan atas usaha didasari oleh kondisi yang adil di antara para pemilik. Struktur kepemilikan dari 'Bank Islam' tidak didasari oleh aturan dan syarat tegas dari Shari'at melainkan mengambil model dari korporasi Barat, dimana suatu usaha/perdagangan tidak dijalankan oleh pemiliknya, melainkan oleh suatu sistem pemaksaan yang dikenal sebagai majorities (mayoritas) .
Artinya, para pemilik modal yang menjalankan suatu perjanjian model Barat ini tidak memiliki suatu perlindungan atas usahanya karena mereka tidak melaksanakan qirad, sebagaimana semestinya, keadaan ini juga tidak mengizinkan seorang pemilik modal (kecuali jika ia seorang pemilik mayoritas ) untuk mengambil tindakan/keputusan bagi usahanya, walaupun ia memiliki usaha tersebut. Karena hal ini tidak tercantum dalam kontrak model Barat Jelaslah bahwa perjanjian usaha model ini bukanlah sebuah perjanjian usaha melainkan penyerahan dan pengalihan paksa hak kepemilikan sang pemilik modal yang dibungkus dengan canggih. Dengan kata lain, hanya orang (atau sekelompok orang) yang berstatus mayoritas-lah yang memiliki hak kepemilikan atas usaha tersebut. Atas dasar inilah, perjanjian usaha model barat tidak dapat dikatakan sebagai usaha bersama, ataupun bisa dianggap sebagai pinjaman usaha.
Pinjaman usaha (qirad) bukanlah pinjaman uang dalam suatu jangka waktu terbatas tanpa adanya kejelasan investasi/usaha, melainkan suatu pinjaman yang digunakan untuk mendirikan suatu bentuk usaha tertentu:
Imam Malik berkata;
"Tidak diizinkan bagi seorang agen untuk mengajukan syarat yang menyatakan bahwa uang dalam qirad merupakan hak miliknya untuk beberapa waktu, dimana uang tersebut tidak dapat ditarik darinya."
Imam Malik melanjutkan;
"Tidak dibenarkan pula bagi pemilik modal untuk mengajukan syarat yang menyatakan bahwa uang dalam qirad tidak perlu dikembalikan dalam jangka waktu tertentu karena qirad tidak memiliki jangka waktu tertentu"
(al-Muwatta, Imam Malik, Bab 32)
Perjanjian pinjaman usaha dalam qirad menyatakan secara jelas identitas orang yang menjadi agen atau pemilik baru dan siapa yang bertanggung jawab penuh atas suatu investasi/usaha. Maka dari itu pinjaman tidak dapat dilakukan melalui perantara mayoritas atau sekelompok orang yang menjadi pemilik tunggal, dimana keberadaan pemilik modal minoritas menjadi terabaikan, sehingga dari waktu ke waktu, pemilik modal minoritas harus melaksanakan keputusan pemilik modal mayoritas walaupun pemilik modal minoritas tidak setuju dengan keputusan tersebut. Maka dapat diambil kesimpulan, bahwa jika seseorang ingin berinvestasi/berusaha/berdagang, maka:
Pertama , ia harus mengetahui segala sesuatu mengenai usaha yang berhubungan dengan investasinya (sesuai dengan kondisi awal yang diketahui secara masuk akal oleh tiap pihak, dan kondisi yang diinginkan secara lengkap);
Kedua , artinya, jika seseorang atau sekelompok orang dapat mengambil suatu keputusan untuk dilaksanakan oleh suatu bentuk usaha maka ia adalah pemilik (atau mitra-pemilik), dimana jelas, dan hanya para pemiliklah yang dapat memutuskan sesuatu bagi usaha yang ia miliki;
Ketiga , dalam setiap kemitraan, para pemilik memiliki hak dan status yang sama (pemenuhan atas perjanjian yang telah disetujui bersama) walaupun tugas yang dilakukan oleh masing-masing pemilik berbeda dalam usaha ini (pembagian hasil keuntungan akan dilaksanakan secara proporsional);
Keempat , jika dalam suatu perjanjian mengakibatkan hilangnya hak pemilik modal untuk ikut mengatur usaha tersebut, maka dalam perjanjian tersebut telah terjadi pengambil alihan secara paksa hak kepemilikan dari pemilik modal.
Secara singkat, struktur kemitraan pemilikan dalam 'Bank Islam' dimana para pemilik saham mayoritas dapat memutuskan sesuatu, tidak dapat diterima oleh Islam; karena hal ini merupakan pemaksaan terhadap pemilik saham minoritas, dimana mereka telah kehilangan hak kepemilikannya secara paksa di tangan dewan eksekutif dan administrator yang mewakili para pemegang saham mayoritas.
C. Pembayaran Bunga Bersifat Ribawi
Struktur dan metode yang dilakukan oleh 'Bank Islam' dalam setiap perjanjian usaha mengakibatkan terjadinya fluktuasi nilai yang berpengaruh kepada setiap transaksi individual yang dilakukan oleh bank. Akibatnya, setiap perjanjian yang dilakukan oleh 'Bank Islam' adalah riba.
Dalam usaha kita untuk menghindarkan diri dari sistem moneter ini, dapat kita lihat secara jelas bahwa setiap perjanjian usaha yang terjadi dalam sistem ini memiliki sifat ribawi karena alat tukar yang digunakan dalam pertukaran komoditas ini adalah uang kertas, yang nilainya ditentukan oleh tekanan, kekuatan dan monopoli negara , sebuah institusi yang memiliki sifat ribawi yang sedemikian parahnya.
Setiap pinjaman dari komoditas yang akan terpengaruh oleh devaluasi dan nilainya bertambah pada saat ia dikembalikan adalah riba. Sebuah pinjaman tidak dapat dikaitkan dengan suatu komoditas yang nilainya selalu berubah. Jika devaluasi yang tak dapat dihindari terjadi, maka suatu pembayaran kompensasi yang memiliki nilai sama terhadap devaluasi atas suatu barang dapat dilakukan (hal ini jangan disamakan dengan bunga).
Fakta ini menumbangkan validitas prinsip 'bebas bunga' yang dianut oleh 'Bank Islam', karena uang kertas tidak dapat dianggap sebagai uang sah yang memiliki nilai stabil. Setiap kali bank meminjam sejumlah uang dalam suatu periode waktu, pinjaman tersebut mengalami devaluasi dalam setiap periode waktu peminjaman. Hal ini sama dengan tipuan riba dalam kasus meminjamkan gandum dalam jangka waktu tertentu (selama waktu panen) dan mensyaratkan bahwa gandum tersebut harus dikembalikan pada saat gandum memperoleh harga yang lebih baik di pasar (beberapa bulan setelah panen).
Ini tidak berarti bahwa pengambilan bunga yang senilai dengan inflasi diizinkan dalam praktek peminjaman uang kertas, karena uang kertas tidak akan pernah bebas dari fluktuasi. Pembayaran deviden, kecuali merupakan pembagian dari hasil keuntungan sebuah usaha dan telah disetujui oleh semua pemilik, adalah pembayaran bunga bersifat ribawi. Shari'at Islam tidak memiliki sedikit keraguan pun terhadap hal ini.
Satu-satunya hal yang memperbolehkan penambahan atau pengurangan dari pengembalian suatu pinjaman adalah keuntungan atau kerugian yang dialami oleh sebuah usaha yang terkait dengan pinjaman tersebut. Tidak ada satu pihak pun yang dapat menggunakan atau merencanakan penggunaan hasil dari keuntungan yang belum dibagikan.
"Seorang pemilik modal tidak dapat menyatakan bahwa ia telah mendapatkan bagian dari hasil keuntungan sebelum ia membaginya dengan agennya; sebagaimana juga sang agen tidak dapat menyatakan bahwa ia memiliki bagian dari hasil keuntungan sebelum ia membaginya dengan pemilik modal."
(al Muwatta, Imam Malik, bab 32)
Dewasa ini yang sering terjadi adalah sang agen tidak membagikan hasil keuntungan, melainkan memberikan estimasi (perkiraan) keuntungan. Keuntungan adalah selisih dari nilai dasar (atau harga pasaran) dari suatu barang/usaha/investasi dengan harga jual yang ditawarkan. Oleh karenanya keuntungan bukanlah merupakan estimasi 'objektif' melainkan hasil yang nyata
Adalah suatu hal yang lumrah jika diantara para mitra usaha ada yang ingin melanjutkan perjanjian usaha dan menggunakan hasil keuntungan yang sudah didapatkan dengan membuat suatu 'kesepakatan bersama', dimana keuntungan yang didapat bisa dibagi seluruhnya atau pun sebagian, dan bagian yang tersisa ditambahkan menjadi bagian dari modal usaha. Tapi juga sebaliknya, jika diantara para mitra ini ada yang tidak setuju untuk melanjutkan perjanjian usaha, atau jika ia tidak menyetujui suatu 'perkiraan keuntungan yang objektif' yang dilakukan oleh seseorang - atau bahkan oleh sekelompok pemodal 'mayoritas' - mengenai hasil keuntungan yang akan didapat, maka ia berhak, sebagaimana telah menjadi haknya sebagai salah seorang pemilik usaha, untuk tidak melanjutkan perjanjian usaha dan memastikan - dengan melihat hasil nyata dari usaha yang dilakukan- mengenai kebenaran/hasil dari sebuah 'perkiraan keuntungan yang objektif
Hal ini bukanlah merupakan pelanggaran dari hak kepemilikan para mitra lainnya, karena perjanjian usaha yang pertama telah dipenuhi. Lagi pula, perjanjian usaha dapat dilanjutkan dengan cara membeli/membayar proses likuidasi dari seorang mitra yang tidak menginginkan kelanjutan usaha ini, atau jika ia tidak menerima "perkiraan keuntungan yang objektif" dari usaha lanjutan yang akan dikerjakan. Perhitungan dari hasil keuntungan yang dimiliki oleh setiap jenis usaha secara logis adalah sama, baik usaha itu didirikan atas dasar pinjaman usaha (qirad) atau pun sebagai kepemilikan bersama/kemitraan. Secara umum qirad adalah suatu perjanjian usaha, dimana usaha tersebut memiliki jenis usaha yang jelas dan dijalankan oleh seseorang atau oleh sekelompok orang yang jelas identitasnya, dan jelas pula hasil yang akan didapat oleh usaha tersebut. Qirad tidak dapat dijalankan jika tidak adanya kejelasan, baik mengenai jenis usaha, identitas dari pelaku usaha maupun hasil yang dicapai dari usaha tersebut.
Secara singkat, sistem perhitungan dan perkiraan deviden perusahaan modern yang dianut oleh 'Bank Islam', bukanlah merupakan hasil keuntungan yang nyata dari suatu usaha, melainkan hanyalah perkiraan - bisa lebih dan bisa kurang - yang sarat akan bunga ribawi. Selain dari fakta bahwa perkiraan yang dilakukan tidak selalu tepat, ada sebuah fakta lagi yang menunjukkan bahwa setiap perjanjian usaha yang dibuat oleh 'Bank Islam' tidak adil, karena setiap perjanjian yang berlaku antara perusahaan dan para pemilik modal menunjukkan bahwa pemilik modal dapat kehilangan haknya sebagai pemilik perusahaan jika mereka tidak setuju terhadap kebijakan yang dibuat, ini merupakan pengalihan hak kepemilikan secara paksa.
Riba telah menodai perdagangan/perniagaan, dengan mengubahnya menjadi sistem ribawi. Perdagangan yang adil tidak akan dapat dicapai selama penggunaan sistem moneter dan finansial 'modern' masih terus diterapkan. Semua usaha untuk menegakkan kembali pasar Islam, perdagangan dan perjanjian usaha Islam harus didasari oleh prinsip keadilan yang termaktub dalam Al-Qur'an (al Baqarah, ayat 282) dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Shari'at. Islam, yang didasari oleh Al-Qur'an dan tradisi fiqh yang kuat, telah menjadi sebuah benteng tak tergoyahkan dan sumber pengetahuan tertinggi bagi Muslimin, dan ia akan tetap menjadi seperti itu hingga akhir zaman. 'Bank Islam' merupakan Kuda Troya yang disusupkan oleh para musuh Islam ke dalam Dar al-Islam .
Diposting oleh Wakala Sauqi di 8:08 PM
Label: bank, riba
oleh Prof. Umar Ibrahim Vadillo
Apa yang disebut-sebut sebagai 'Bank Islam' tidak lain merupakan bagian dari institusi ribawi yang bertentangan dengan Islam. 'Bank Islam' merupakan suatu usaha aneh untuk menggoyahkan, sebagai mana yang terjadi dalam kristen, sikap tegas Islam dalam menolak riba selama 14 abad.
Sejak awal, keberadaan 'Bank Islam' telah didukung dan dianjurkan oleh para pelaku riba. Tujuan mereka hanyalah untuk membawa berjuta-juta umat Muslim di seluruh dunia - yang secara umum akan menolak penggunaan bank dan segenap institusi ribawi- ke dalam sistem moneter dan finansial internasional. 'Negara Islam' adalah salah satu rekaan dari kekuatan kolonial, dimana istilah ini memiliki arti yang bertolak belakang dengan Islam, dan memiliki sifat anti Islam, yang bermuara pada berakhirnya penjajahan kolonial secara wilayah dan dimulainya penjajahan kolonial gaya baru melalui sistem finansial.
Lembaga konstitusi model barat (yang menjadi model bagi Revolusi Perancis), telah melahirkan sistem pembatasan alam yang tidak tidak masuk akal, terciptanya sebuah sistem birokrasi parlemen yang represif, diperkenalkannya pajak, hadirnya sebuah penipuan besar dimana penggunaan uang kertas dan riba (bank) dilegalisasikan - semua ini bertentangan dengan Islam. Maka 'Bank Islam' tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah produk khas yang jahat dan rendah dari 'Negara Islam'.
Untuk memasyarakatkan 'Bank Islam', sebuah ilmu baru yang dikenal sebagai 'Ekonomi Islam' diperkenalkan oleh berbagai universitas-universitas di Amerika dan Eropa. Walaupun kedua konsep ekonomi yang tidak mempunyai hubungan satu sama lain ini salah dan dipandang rendah oleh kalangan Muslim yang memegang teguh tradisi Islam, tidak dapat dipungkiri bahwa kedua konsep ini telah menjadi suatu dasar pembenaran yang dipakai oleh para birokrat dan pengelola negara yang mengusung konsep 'Islam Modern'. Para ekonom Islam yang mengenyam pendidikan kelas dua dari berbagai universitas Barat tidak akan dapat melihat bagaimana pondasi ekonomi telah diporak-porandakan secara keilmuan untuk kemudian dipraktekkan di Eropa.
Pemikiran rasional dari sebuah ilmu positif yang banyak dipertanyakan di Eropa ini malah dibela mati-matian oleh para birokrat baru yang masih terpesona oleh pendidikan yang mereka terima dari barat . Bahwa banyak kalangan yang mendukung gerakan modernisasi ini memiliki ketulusan, seberapapun naifnya, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat ditolak, waktu dan kedewasaan akan menujukkan sisi lain yang pahit dari ideologi dan ilmu modern yang mereka percayai ini. Kembali kepada tradisi Islam bukan hanya menjadi obat terbaik guna melawan gerakan modernisasi di banyak negeri Muslim, bahkan di tangan sejumlah generasi muda Muslim barat, kembali kepada Islam telah mengasilkan sesuatu yang melampaui modernisme dan puncak dari peradaban Eropa yang kita kenal selama ini.
Berbeda dengan kebingungan yang dihasilkan oleh para modernis, posisi dan sikap Shari'at Islam sudah jelas dan tidak menimbulkan pertentangan.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya"
(Qur'an, al-Baqarah, 278-279)
Dari ayat ini jelas sudah bahwa Muslimin tidak hanya wajib meninggalkan riba, akan tetapi ia juga wajib memeranginya. 'Bank Islam' merupakan institusi riba, dan sebagaimana institusi riba lainnya, wajib ditolak dan diperangi. Selain dari kebohongan dibalik nama 'Bank Islam', kita dapat menjabarkan, paling tidak tiga alasan, mengapa praktek ini merupakan praktek ribawi.
A. Penciptaan dan Pemakaian Uang Kertas yang Merupakan Praktek Monopoli
Shari'at melarang pemaksaan penggunaan satu mata uang dalam perdagangan; secara jelas dinyatakan dalam Shari'at bahwa uang adalah sesuatu yang diterima oleh masyarakat dan memiliki nilai nyata sebagai alat tukar. Jika kita menyatakan bahwa uang kertas yang memiliki sifat monopolistik, yang tidak memiliki nilai komoditas apapun dimana nilai yang dimilikinya merupakan hasil yang dipaksakan oleh hukum suatu negara, maka jelaslah sudah bahwa praktek uang kertas ini tidak memiliki hubungan apapun dengan Deen Islam. Melihat kepada kenyataan bahwa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak menggunakan sistem moneter uang kertas, merupakan suatu bukti bahwa kaum Muslim dewasa ini hidup tanpa adanya pemerintahan Islam yang otentik.
Tidak ada satu alasan strategis dan politis yang dapat menjustifikasi pemak saan penggunaan uang kertas sebagai bagian dari pemerintahan Islam, hal ini terjadi kerena pemaksaan tersebut didasari oleh penipuan terhadap orang-orang yang menginginkan kehadiran pemerintahan Islam yang sah; lebih jauh, adalah suatu kontradiksi jka sebuah pemerintahan yang adil dan bijaksana membiayai dirinya dengan cara merampok rakyatnya sendiri.
Penggunaan uang kertas oleh institusi manapun bertentangan dengan Islam. Dalam kasus bank, kita dapat menambahkan satu elemen yang bertentangan ini - salah satunya adalah kemampuan bank untuk menciptakan uang kertas secara bebas dengan memberikan kredit - tidak perduli apakah uang kertas ini digunakan untuk suatu usaha yang sah atau pinjaman riba. Menggunakan pinjaman sebagai metode penambahan modal secara artifisial dilarang oleh Shari'at.
"Tidak diizinkan untuk membayar pinjaman dengan cara meminta si peminjam untuk menerima pembayaran dari pihak ketiga yang berhutang kepada si peminjam" Jelaslah bahwa tidak diizinkan untuk membayar hutang dengan hutang
"Tidak diperkenankan atas kamu untuk menjual sesuatu yang tidak kamu miliki, dimana kamu menyatakan hak atasnya dan memberikan kepada si pembeli" ('Al-Risala' of Ibn Abi Zaid al-Qayrawani, bab 34)
Imam Malik berkata: 'Tidak diperkenankan atas seseorang untuk membeli/memindahkan hutang orang lain, dengan atau tanpa kehadiran orang tersebut, tanpa sepengetahuan orang yang dihutangi. Sesungguhnya ia telah membeli sesuatu yang tidak ada jaminan atasnya dan penuh keraguan, jika transaksi ini tidak dapat dipenuhi apa yang telah dibayarkan akan kehilangan nilainya. Transaksi ini meragukan dan tidak memiliki kebaikan' (al Muwatta, Bab 31)
Konfirmasi dari sebuah hutang menjadikan hutang tersebut tidak boleh dialihkan; konfirmasi terjadi dibarengi dengan janji/jaminan bahwa hutang akan dan dapat dibayar. Dengan kata lain, sebuah ringatan akan dikeluarkan terhadap seseorang yang memiliki hutang yang tak dapat dibayar dan ingin memindahkan hutang ini ke pihak lain. Kondisi ini tidak diperbolehkan.
Imam Malik menunjukkan perbedaan antara seseorang yang berhutang atas apa yang ia miliki dengan seseorang yang berhutang atas sesuatu yang ia tidak miliki, bentuk hutang yang disebut terakhir ini tidak dianjurkan karena dapat mengarah ke riba dan penipuan (al Muwatta, bab 31), seperti yang terjadi pada sistem perbankan. Shari'at melarang adanya komersialisasi dan penggandaan hutang. Maka, usaha perbankan seperti di atas tidak dapat diterima dalam Islam; Satu-satunya fungsi yang dapat dijalankan oleh instutisi seperti ini adalah untuk transfer uang tanpa adanya penambahan apapun terhadap nilai awal uang tersebut.
B. Pemaksaan Hak Kepemilikan
Alasan kedua tidak Islamnya 'Bank Islam' adalah sifat hak kepemilikannya yang bergantung kepada struktur undang-undang. Dalam Islam, sebuah perjanjian usaha/dagang harus dapat menjamin identitas dan hak kepemilikan yang bermuara pada kepercayaan dan rasa hormat terhadap hak ini. Dengan demikian ada dua bentuk perjanjian usaha/dagang bagi dua orang atau lebih:
Perjanjian pinjaman usaha (qirad), dimana pemilik modal memberikan kepercayaan atas barang/investasi yang ia miliki kepada seseorang yang ditunjuk sebagai agen dalam menjalankan usahanya.
Kepemilikan bersama, dimana beberapa pemilik modal membuat suatu kesepakatan dalam menjalankan suatu usaha/perdagangan (dalam bentuk suatu perjanjian), dalam hal ini kepemilikan atas usaha didasari oleh kondisi yang adil di antara para pemilik. Struktur kepemilikan dari 'Bank Islam' tidak didasari oleh aturan dan syarat tegas dari Shari'at melainkan mengambil model dari korporasi Barat, dimana suatu usaha/perdagangan tidak dijalankan oleh pemiliknya, melainkan oleh suatu sistem pemaksaan yang dikenal sebagai majorities (mayoritas) .
Artinya, para pemilik modal yang menjalankan suatu perjanjian model Barat ini tidak memiliki suatu perlindungan atas usahanya karena mereka tidak melaksanakan qirad, sebagaimana semestinya, keadaan ini juga tidak mengizinkan seorang pemilik modal (kecuali jika ia seorang pemilik mayoritas ) untuk mengambil tindakan/keputusan bagi usahanya, walaupun ia memiliki usaha tersebut. Karena hal ini tidak tercantum dalam kontrak model Barat Jelaslah bahwa perjanjian usaha model ini bukanlah sebuah perjanjian usaha melainkan penyerahan dan pengalihan paksa hak kepemilikan sang pemilik modal yang dibungkus dengan canggih. Dengan kata lain, hanya orang (atau sekelompok orang) yang berstatus mayoritas-lah yang memiliki hak kepemilikan atas usaha tersebut. Atas dasar inilah, perjanjian usaha model barat tidak dapat dikatakan sebagai usaha bersama, ataupun bisa dianggap sebagai pinjaman usaha.
Pinjaman usaha (qirad) bukanlah pinjaman uang dalam suatu jangka waktu terbatas tanpa adanya kejelasan investasi/usaha, melainkan suatu pinjaman yang digunakan untuk mendirikan suatu bentuk usaha tertentu:
Imam Malik berkata;
"Tidak diizinkan bagi seorang agen untuk mengajukan syarat yang menyatakan bahwa uang dalam qirad merupakan hak miliknya untuk beberapa waktu, dimana uang tersebut tidak dapat ditarik darinya."
Imam Malik melanjutkan;
"Tidak dibenarkan pula bagi pemilik modal untuk mengajukan syarat yang menyatakan bahwa uang dalam qirad tidak perlu dikembalikan dalam jangka waktu tertentu karena qirad tidak memiliki jangka waktu tertentu"
(al-Muwatta, Imam Malik, Bab 32)
Perjanjian pinjaman usaha dalam qirad menyatakan secara jelas identitas orang yang menjadi agen atau pemilik baru dan siapa yang bertanggung jawab penuh atas suatu investasi/usaha. Maka dari itu pinjaman tidak dapat dilakukan melalui perantara mayoritas atau sekelompok orang yang menjadi pemilik tunggal, dimana keberadaan pemilik modal minoritas menjadi terabaikan, sehingga dari waktu ke waktu, pemilik modal minoritas harus melaksanakan keputusan pemilik modal mayoritas walaupun pemilik modal minoritas tidak setuju dengan keputusan tersebut. Maka dapat diambil kesimpulan, bahwa jika seseorang ingin berinvestasi/berusaha/berdagang, maka:
Pertama , ia harus mengetahui segala sesuatu mengenai usaha yang berhubungan dengan investasinya (sesuai dengan kondisi awal yang diketahui secara masuk akal oleh tiap pihak, dan kondisi yang diinginkan secara lengkap);
Kedua , artinya, jika seseorang atau sekelompok orang dapat mengambil suatu keputusan untuk dilaksanakan oleh suatu bentuk usaha maka ia adalah pemilik (atau mitra-pemilik), dimana jelas, dan hanya para pemiliklah yang dapat memutuskan sesuatu bagi usaha yang ia miliki;
Ketiga , dalam setiap kemitraan, para pemilik memiliki hak dan status yang sama (pemenuhan atas perjanjian yang telah disetujui bersama) walaupun tugas yang dilakukan oleh masing-masing pemilik berbeda dalam usaha ini (pembagian hasil keuntungan akan dilaksanakan secara proporsional);
Keempat , jika dalam suatu perjanjian mengakibatkan hilangnya hak pemilik modal untuk ikut mengatur usaha tersebut, maka dalam perjanjian tersebut telah terjadi pengambil alihan secara paksa hak kepemilikan dari pemilik modal.
Secara singkat, struktur kemitraan pemilikan dalam 'Bank Islam' dimana para pemilik saham mayoritas dapat memutuskan sesuatu, tidak dapat diterima oleh Islam; karena hal ini merupakan pemaksaan terhadap pemilik saham minoritas, dimana mereka telah kehilangan hak kepemilikannya secara paksa di tangan dewan eksekutif dan administrator yang mewakili para pemegang saham mayoritas.
C. Pembayaran Bunga Bersifat Ribawi
Struktur dan metode yang dilakukan oleh 'Bank Islam' dalam setiap perjanjian usaha mengakibatkan terjadinya fluktuasi nilai yang berpengaruh kepada setiap transaksi individual yang dilakukan oleh bank. Akibatnya, setiap perjanjian yang dilakukan oleh 'Bank Islam' adalah riba.
Dalam usaha kita untuk menghindarkan diri dari sistem moneter ini, dapat kita lihat secara jelas bahwa setiap perjanjian usaha yang terjadi dalam sistem ini memiliki sifat ribawi karena alat tukar yang digunakan dalam pertukaran komoditas ini adalah uang kertas, yang nilainya ditentukan oleh tekanan, kekuatan dan monopoli negara , sebuah institusi yang memiliki sifat ribawi yang sedemikian parahnya.
Setiap pinjaman dari komoditas yang akan terpengaruh oleh devaluasi dan nilainya bertambah pada saat ia dikembalikan adalah riba. Sebuah pinjaman tidak dapat dikaitkan dengan suatu komoditas yang nilainya selalu berubah. Jika devaluasi yang tak dapat dihindari terjadi, maka suatu pembayaran kompensasi yang memiliki nilai sama terhadap devaluasi atas suatu barang dapat dilakukan (hal ini jangan disamakan dengan bunga).
Fakta ini menumbangkan validitas prinsip 'bebas bunga' yang dianut oleh 'Bank Islam', karena uang kertas tidak dapat dianggap sebagai uang sah yang memiliki nilai stabil. Setiap kali bank meminjam sejumlah uang dalam suatu periode waktu, pinjaman tersebut mengalami devaluasi dalam setiap periode waktu peminjaman. Hal ini sama dengan tipuan riba dalam kasus meminjamkan gandum dalam jangka waktu tertentu (selama waktu panen) dan mensyaratkan bahwa gandum tersebut harus dikembalikan pada saat gandum memperoleh harga yang lebih baik di pasar (beberapa bulan setelah panen).
Ini tidak berarti bahwa pengambilan bunga yang senilai dengan inflasi diizinkan dalam praktek peminjaman uang kertas, karena uang kertas tidak akan pernah bebas dari fluktuasi. Pembayaran deviden, kecuali merupakan pembagian dari hasil keuntungan sebuah usaha dan telah disetujui oleh semua pemilik, adalah pembayaran bunga bersifat ribawi. Shari'at Islam tidak memiliki sedikit keraguan pun terhadap hal ini.
Satu-satunya hal yang memperbolehkan penambahan atau pengurangan dari pengembalian suatu pinjaman adalah keuntungan atau kerugian yang dialami oleh sebuah usaha yang terkait dengan pinjaman tersebut. Tidak ada satu pihak pun yang dapat menggunakan atau merencanakan penggunaan hasil dari keuntungan yang belum dibagikan.
"Seorang pemilik modal tidak dapat menyatakan bahwa ia telah mendapatkan bagian dari hasil keuntungan sebelum ia membaginya dengan agennya; sebagaimana juga sang agen tidak dapat menyatakan bahwa ia memiliki bagian dari hasil keuntungan sebelum ia membaginya dengan pemilik modal."
(al Muwatta, Imam Malik, bab 32)
Dewasa ini yang sering terjadi adalah sang agen tidak membagikan hasil keuntungan, melainkan memberikan estimasi (perkiraan) keuntungan. Keuntungan adalah selisih dari nilai dasar (atau harga pasaran) dari suatu barang/usaha/investasi dengan harga jual yang ditawarkan. Oleh karenanya keuntungan bukanlah merupakan estimasi 'objektif' melainkan hasil yang nyata
Adalah suatu hal yang lumrah jika diantara para mitra usaha ada yang ingin melanjutkan perjanjian usaha dan menggunakan hasil keuntungan yang sudah didapatkan dengan membuat suatu 'kesepakatan bersama', dimana keuntungan yang didapat bisa dibagi seluruhnya atau pun sebagian, dan bagian yang tersisa ditambahkan menjadi bagian dari modal usaha. Tapi juga sebaliknya, jika diantara para mitra ini ada yang tidak setuju untuk melanjutkan perjanjian usaha, atau jika ia tidak menyetujui suatu 'perkiraan keuntungan yang objektif' yang dilakukan oleh seseorang - atau bahkan oleh sekelompok pemodal 'mayoritas' - mengenai hasil keuntungan yang akan didapat, maka ia berhak, sebagaimana telah menjadi haknya sebagai salah seorang pemilik usaha, untuk tidak melanjutkan perjanjian usaha dan memastikan - dengan melihat hasil nyata dari usaha yang dilakukan- mengenai kebenaran/hasil dari sebuah 'perkiraan keuntungan yang objektif
Hal ini bukanlah merupakan pelanggaran dari hak kepemilikan para mitra lainnya, karena perjanjian usaha yang pertama telah dipenuhi. Lagi pula, perjanjian usaha dapat dilanjutkan dengan cara membeli/membayar proses likuidasi dari seorang mitra yang tidak menginginkan kelanjutan usaha ini, atau jika ia tidak menerima "perkiraan keuntungan yang objektif" dari usaha lanjutan yang akan dikerjakan. Perhitungan dari hasil keuntungan yang dimiliki oleh setiap jenis usaha secara logis adalah sama, baik usaha itu didirikan atas dasar pinjaman usaha (qirad) atau pun sebagai kepemilikan bersama/kemitraan. Secara umum qirad adalah suatu perjanjian usaha, dimana usaha tersebut memiliki jenis usaha yang jelas dan dijalankan oleh seseorang atau oleh sekelompok orang yang jelas identitasnya, dan jelas pula hasil yang akan didapat oleh usaha tersebut. Qirad tidak dapat dijalankan jika tidak adanya kejelasan, baik mengenai jenis usaha, identitas dari pelaku usaha maupun hasil yang dicapai dari usaha tersebut.
Secara singkat, sistem perhitungan dan perkiraan deviden perusahaan modern yang dianut oleh 'Bank Islam', bukanlah merupakan hasil keuntungan yang nyata dari suatu usaha, melainkan hanyalah perkiraan - bisa lebih dan bisa kurang - yang sarat akan bunga ribawi. Selain dari fakta bahwa perkiraan yang dilakukan tidak selalu tepat, ada sebuah fakta lagi yang menunjukkan bahwa setiap perjanjian usaha yang dibuat oleh 'Bank Islam' tidak adil, karena setiap perjanjian yang berlaku antara perusahaan dan para pemilik modal menunjukkan bahwa pemilik modal dapat kehilangan haknya sebagai pemilik perusahaan jika mereka tidak setuju terhadap kebijakan yang dibuat, ini merupakan pengalihan hak kepemilikan secara paksa.
Riba telah menodai perdagangan/perniagaan, dengan mengubahnya menjadi sistem ribawi. Perdagangan yang adil tidak akan dapat dicapai selama penggunaan sistem moneter dan finansial 'modern' masih terus diterapkan. Semua usaha untuk menegakkan kembali pasar Islam, perdagangan dan perjanjian usaha Islam harus didasari oleh prinsip keadilan yang termaktub dalam Al-Qur'an (al Baqarah, ayat 282) dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Shari'at. Islam, yang didasari oleh Al-Qur'an dan tradisi fiqh yang kuat, telah menjadi sebuah benteng tak tergoyahkan dan sumber pengetahuan tertinggi bagi Muslimin, dan ia akan tetap menjadi seperti itu hingga akhir zaman. 'Bank Islam' merupakan Kuda Troya yang disusupkan oleh para musuh Islam ke dalam Dar al-Islam .
Diposting oleh Wakala Sauqi di 8:08 PM
Label: bank, riba
Komentar