FIQIH SIYASAH

PENDAHULUAN

Adakah sistem politik dalam Islam? pertayaan ini barang kali menarik dikemukakan, kerena hingga saat ini di kalangan umat Islam sendiri terdapat perbedaan pendapat dalam menjawab permasalahan ini.
Disisi lain, dalam pekembangan sejarah Islam, keanekaragaman aliran pokitik ini melahirkan pula berbagai praktik ketatanegaraan yang berbeda antara umat Islam disatu tempat dan masa dengan di tempat dan masa yang lain. Perbedaan ini semakin mengental ketika Islam menghadapi kolonialisme barat pada abad ke-19M. barat, di samping menguasai daerah-daerah Islam, juga melakukan ekspor terhadap pemikiran dan idiologi-idiologi politik mereka. Hal ini mendapat respon dari umat Islam, baik dengan cara menerima bulat-bulat, menolak mentah-mentah maupun mengapresiasikannya dengan kritis dalam arti mengambil nilai-nilainya yang positif dan membuang nilai-nilainya yang negatif.
Dalam soal ketatanegaraan dan pemerintahan, Nabi Muhammad tidak memberikan ketentuan atau peraturan yang baku dan mutlak harus diikuti oleh umatnya. Beliau hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar yang harus dilaksanakan, sedangkan formulasinya dan hal-hal lain yang bersifat teknis diserahkan sepenuhnya kepada umat islam. Merekalah yang merumuskannya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan permasalahan yang mereka hadapi. Inilah pula sebabnya kenapa Nabi tidak menunjuk secara tegas siapa yang kelak menggantikan beliau setelah meninggal dunia, karena masalah suksesi kepeminpinan ini juga termasuk hal-hal yang bersipat teknis.
Dalam hal ini, penulis ingin mencoba mengulas sedikit tentang sistem ketatanegaraan Islam yang menyangkut istilah–istilah politik ketatanegaraan dalam Islam, yang mana dalam pemakaiannya para ahli banyak sekali yang kontra antara yang satu dengan yang lain, sehingga menimbulkan banyak persepsi dan pemakaian kata yang berbeda-beda.
Dan juga penulis mohon maaf apabila didalam makalah ini banyak sekali terdapat kesalahan, baik dari susunan redaksi kata, maupun dalam hal materinya yang tidak menyentuh keinti permasalahan, karena keterbatasan ilmu yang dimiliki penulis.
PEMBAHASAN


A. Imamah dan khilafah
Dalam wacana fiqih siyasah, kata imamah biasanya diidentikan dengan khilafah. Keduanya menunjukan pengertian kepeminpinan tertinggi dalam islam. Istilah imamah lebih banyak digunakan oleh kalangan Syi’ah, sedangkan istilah khalifah lebih populer penggunaannya dalam masyarakat Sunni. Hanya saja terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini dalam memehami imamah. Kelompok syi’ah memandang bahwa imamah merupakan bagian dari prinsip ajaran agama, sedangkan Sunni tidak memandang demikian. Meskipun begitu, beberapa pemikir Sunni juga menggunakan terminologi imamah untuk pembahasan tentang khilafah. Hal ini antara lain dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Mawardi. Diantar pemikir Sunni modern juga ada yang menggunakan terminologi al-amamah al’uzmah untuk pengertian ini, seperti terlihat dalam tulisan ‘Abd al-Qodir ‘Audah dan Muhammad Rasid Ridha.
Penegakan institusi imamah atau khalifah, menurut para fuqoha’, mempunyai dua fungsi, yaitu penegakkan agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumanya, serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan Islam. Menurut al-Mawardi, imamah dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia. Sejalan dengan pandangan al-Mawardi ,’Audah mendefinisikan bahwa khlafah atau imamah adalah kepeminpinan umum umat islam dalam masalah – masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad SAW. Dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap ummat Islam.

B.Ahl al-Hall wal al-‘Aqd
Secara harfiah, Ahl al-hall wal al-‘aqd berarti orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Para ahli fiqh siyasah merumuskan pengertian Ahl al-hall wal al-‘aqd
Sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara).dengan kata lain, Ahl al-hall wal al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Anggota Ahl al-hall wal al-‘aqd ini terdiri dari orang – orang yang berasal dari berbagai kalangan dan propesi. Merekalah yang antara lain bertugas menetapkan dan mengangkat kepala negara sebagai peminpin pemerintahan. Al mawardi menyebutkan Ahl al-hall wal al-‘aqd dengan ahl al-ikhtiyar, karena merekalah yang memilih khalifah. Sedangkan Ibn Taimiyah menyebutkan dengan ahl al-syuura atau ahl al-ijtima’. Sementara al-Baghdadi menamakan mereka dengan “kelompok anggota masyarakat yang mewakili umat ( rakyat ) dalam menentukan arah dan kebijaksanaan pemerintahan demi tercapainya kemaslahatan hidup mereka.” Sejalan dengan pengertian ini, Abdul Hamid al-Anshari menyebutkan bahwa majelis syura yang menghimpun ahl al-syura merupakan sarana yang dugunakan rakyat atau wakil rakyatnya untuk membicarakan masalah-masalah kemasyarakatan dan kemaslahatan ummat. Dengan demikian, sebenarnya rakyatlah yang berhak untuk menentukan nasibnya serta menentukan siapa yang akan mereka angkat sebagai kepala negara sesuai dengan kemaslahatan umum yang mereka inginkan.
Istilah yang lebih populer dipakai pada awal pemerintahan Islam tentang hal ini adalah ahl al-syura. Pada mesa Khalifah yang Empat, khususnya pada masa ‘Umar istilah ini mengacu kapada pengertian beberapa sahabat senior yang yang melakukan musyawarah untuk menentukan kebijaksanaan negata dan memilih pengganti kepala negara. Mereka adalah enam orang sahabat senior yang ditunjuk ‘Umar untuk melakukan musyawarah menentukan siapa yang akan menggantikannya setelah ia meninggal, memang pada masa ini ahl al-syura atau Ahl al-hall wal al-‘aqd belum lagi terlembaga dan berdiri sendiri. Namun, pada pelaksanaannya, para sahabat senior telah menjalankan perannya sebagai “wakil rakyat” dalam menentukan arah kebijaksanaan negara dan pemerintahan.
Berangkat dari praktek yang dilakukan al-Khulafa’ al-Rasridun inilah para ulama siyasah merumuskan pandangannya tentang Ahl al-hall wal al-‘aqd. Menurut mereka, para khalifah tersebut, dengan empat cara pemilihan yang berbeda-beda, dipilih oleh pemuka negara Islam untuk menjadi kepala negara. Selanjutnya pemilihan ini diikuti dengan sumpah setia (bay’ah) umat Islam secara umum terhadap khalifah terpilih. Berdasarkan cara-cara terdebut, al-Mawardi menguraikan perbedaan pendapat ulama tentang beberapa jumlah Ahl al-hall wal al-‘aqd yang dapat dikatakan sebagai representasi pilihan rakyat untuk mengangkat kepala negara. Menurutnya, sebagian ulama memandang pemilihan kepala negara baru sah apabila dilakukan oleh jumhur Ahl al-hall wal al-‘aqd. Ini sesuai dengan pemilihan Abu Bakar yang dibay’ah secara aklamasi oleh umat Islam yang hadir di Saqifah Bani Sa’idah. Pendapat lain mengatakan cukup hanya dipilih oleh lima orang anggota Ahl al-hall wal al-‘aqd. Dalam kasus pemilihan Abu Bakar, sebelum dibay’ah, ia terlebih dahulu dipilih oleh lima orang sahabat, yaitu’Umar ibn al-Khattab, Abu ‘Ubaidah ibn al-jarrah, Asid ibn Hudhair, Basyr ibn sa’d dan Salim mawla Abi Hudzaifah. Merekalah yang mula-mula melakukan bay’ah kepada Abu Bakar dan diikuti oleh umat Islam lainnya. Demikian pula dalam pemilihan ‘Usman ibn ‘Affan melalui musyawarah lima sahabat senior. Pendapat ini, menurut al-Mawardi adalah pendapat ulama fiqh dan mutakallimun dari Bashrah. Sementara ulama Kufah betpendapat bahwa pemilihan kepala negara dinyatakan sah apabila dipilih oleh tiga orang anggota Ahl al-hall wal al-‘aqd. Mereka menganalogikannya dengan dangan akad nikah dengan seorang wali dan dihadiri dua orang saksi. Sedangkan pendapat lain mengatakan cukup seorang Ahl al-hall wal al-‘aqd saja yang melakukan bay’ah terhadap kepala negara, sebagaimana ‘Abbas melakukan bay’ah terhadap ‘Ali untuk menggantikan Khalifah ‘Usman ibn ‘Affan.
Selanjutnya al-Mawardi tidak menjelaskan bahwa syarat yang mutlak dipenuhi oleh annggota Ahl al-hall wal al-‘aqd adalah adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara yang akan dipilih dan mempunyai kebijkan serta wawasan yang luas sehinggga tidak salah dalam memilih kepala negara.
Sayangnya, al-Mawardi tidak menjelaskan secara memadai mengenai prosedur pemilihan Ahl al-hall wal al-‘aqd dan hubungannya lebih jauh antara Ahl al-hall wal al-‘aqd dengan khalifah. Dalam hal ini, al-Mawardi hanya menjelaskan proses pemilihan kepala negara yang diawali dengan meneliti persyaratan kendidat. Lalu kandidat yang dianggap paling memenuhi kualifikasi untuk menjadi kepala negara diminta kesediaannya tanpa terpaksa. Bila ia bersedia menjadi kepala negara, maka dimulailah kontrak sosial antara kepala negara dan rakyat yang diwakili oleh Ahl al-hall wal al-‘aqd. Selanjutnya barulah rakyat secara umum menyatakan kesetiaan mereka kepada kepala negara.
Berbeda dengan al-Mawardi, Ibn Taimiah menolak pengangkatan kepala negara oleh Ahl al-hall wal al-‘aqd ini. Menurutnya, dalam prakteknya pada pasca lembaga legitimasi bagi kekuasaan khalifah Bani Umaiyah dan Bani Abbas. Kedudukan mereka tidak lagi independen, karena mereka diangkat oleh khalifah. Akibatnya, Ahl al-hall wal al-‘aqd tidak lagi berfungsi sebagai lembaga kontrol terhadap kekuasaan kepala negara. Ahl al-hall wal al-‘aqd tidak pernah mencerminkan dirinya sebagai wakil rakyat. Bagaimana mungkin ia menjadi wakil rakyat kalau kalau yang menentukan keberedaannya adalah kepala negara. Menurut Ibn Taimiah, sabagai mana dikutip Qomaruddin Khan, istilah Ahl al-hall wal al-‘aqd tidak dikenal pada awal sejarak Islam, dan menjadi popoler hanya setelah Bani Abbas berkuasa. Ibn Taimiah bahkan meragukan bahwa konsep Ahl al-hall wal al-‘aqd akan mengarah kepada terbentuknya lembaga kependetaan dalam agama Islam Syi’ah. Konsekwensi lebih jauh, doktrin ini akan menghilangkan hak rakyat untuk memilih.
Sebagai alternatif, Ibn Taimiah mengembangkan konsep al- syawkah dalam teori polotiknya. Menurutnya Ahl al-Syaukah adalah orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi dan mempunyai kedudukan terhormat dimasyarakat. Mereka menjadi semacam tempat untuk bertanya bagi masyarakat dan ucapan meraka menjadi “kata putus” bagi masyarakat tersebut. Merekalah yang memilih kepala negara Ibn Taimiah mencontohkan hal ini pada pemilihan Khalifah Abu Bakar dan ‘Umar. Menurutnya, Abu Bakar memegang tampuk pemerintahan bukan karena bay’ah ‘Umar dan ‘Umar menjadi khalifah bukan karena wasiat Abu Bakar. Mereka naik memegang puncak pemerintahan umat Islam karena sumpah setia orang-orang yang memiliki kekuatan ( Ahl al-Syaukah ) dan kemudian diikuti oleh umat Islam. Seandainya umat Islam tidak menyetujui Abu Bakar dan ‘Umar, mereka berdua tidak mungkin tidak dapat menjadi kepala negara.
Berdasarkan pandangan ini, Ibn Taimiah menolak keabsahan kekuasaan kepala negara yang dipilih oleh segelintir orang saja, seperti yang ditiorikan al-Mawardi di atas. Hal ini dapat menjurus kepada pembenaran kepala negara yang mencapai kekuasaan dengan cara-cara paksa dan ilegal. Dari pandangan Ibn Taimiah dapat ditarik benang merah bahwa sebenarnya ia tidak menolak substansi Ahl al-hall wal al-‘aqd. Yang ditolaknya adalah keberadaannya dalam sejarah islam yanbg hanya menjadi alat penguasa. Para anggota Ahl al-hall wal al-‘aqd pada masa Bani Umaiyah dan Bani Abbas tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagai alat kontrol terhadap kekuasaan. Karenanya Ibn Taimiah menginginkan peranan Ahl al-hall wal al-‘aqd yang lebih luas dan mencerminkan refresentasi kehendak rakyat. Dalam hal ini, rakyat merupakan pihak yang paling berhak menentukan kepala negara dan menyalurkan aspirasinya kepada Ahl al-hall wal al-‘aqd, yang pada teori Ibn Taimiyah disebut dengan Ahl al- syawkah.
Memang ada bebrapa ahli tafsir yang mengidentikan Ahl al-hall wal al-‘aqd dengan ulil Amri ketika mereka membahas surat an-Nisa ayat 59 :




Sebagaimana pendapat al-Nisaburi, al-Nawawi dan Muhammad Abduh. Al-Nisaburi menyatakan bahwa Ahl al-hall wal al-‘aqd adalah orang – orang terhormat dan berfikiran luas. An-Nawawi mengidentikannya sebagai para peminpin dan tokoh masyarakat. Sementara ‘Abduh, sebagaimana ditulis muridnya Muhammad Rasid Ridha, bahkan merinci komponen Ahl al-hall wal al-‘aqd yaitu para amir, hakim, ulama, panglima perang dan semua peminpin yang menjadi rujukan bagi umat islam dalam masalah kemaslahatan umum. Sedangkan Hasan al-Banna mengelompokan Ahl al-hall wal al-‘aqd kedalam tiga golongan yaitu Faqih yang mampu menyelesaikan masalah –masalah yang muncul dengan melakukan ijtihad, orang yang berpengalaman dalam urusan rakyat dan orang yang melaksanakan kepeminpinan sebagai kepala suku atau golongan.
Dalam sejarah islam, pembentukan lembaga Ahl al-hall wal al-‘aqd pertama kali dilakukan oleh pemerintah Bani Umaiyah di Spayol.pembentukan lembaga Ahl al-hall wal al-‘aqd dirasa perlu dalam pemerintahan islam, mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam, sehingga mampu menciptakan memaslahatan umat islam. Para ahli siyasah menyebutkan beberapa alasan pentingnya pelembagaan majelis syura ini, yaitu :
1. Rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dilibatkan untuk dimintai pendapat tentang masalah menegaraan dan pembentukan undang-undang. Oleh karena itu, harus ada kelompok mesyarakat yang bisa diajak musyawarah dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah dan pembentukan perundang-undangan.
2. Rakyat secara individu tidak mungkin dikumpulkan untuk melakukan musyawarah disuatu tempat, apalagi diantara mereka pasti ada yang tidak mempunyai pandangan yang tajam dan tidak mampu berfikir kritis.
3. Musyawarah hanya bisa dilakukan apabila jumlah pesertanya terbatas. Kalau seluruh rakyat dikumpulkan disuatu tempat untuk melakukan musyawarah, dipastikan musyawarah tersebut tidak dapat terlaksana.
4. Kewajiban amal ma’ruf nahiy munkar hanya bisa dilakukan apabila ada lembaga yang berperan untuk menjaga kemaslahatan antara pemerintah dan rakyata.
5. Kewajiban ta’at kepada ulul Amri (Peminpin umat) baru mengikat apabila peminpin itu dipilih oleh lembaga musyawarah .
6. Ajaran Islam sendiri yang menekankan perlunya pembentukan lembaga musyawarah.
Pada masa modern, sejalan dengan masuknya pengaruh pemikiran politik barat terhadap islam, pemikiran tentang ahl al-hall al-‘aqd juga berkembang. Para ulama siyasah mengemukakan pentingnya pembentukan Lembaga Perwakilan Rakyat atau DPR/MPR sebagai representasi dari kehendak rakyat. Mereka mengemukakan gagasan tentang ahl al-hall al-‘aqd ini dengan mengkombinasikannya dengan pemikiran-pemikiran politik yang berkembang di barat. Dalam prakteknya, mekanisme pemilihan anggota ahl al-hall al-‘aqd atau DPR ini menurut al- Ansori dilakukan melalui beberapa cara :
1. Pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala. Dalam pemilu ini, anggota masyarakat yang sudah memenuhi persyaratan memilih anggota ahl al-hall al-‘aqd sesuai dengan pilihannya.
2. Pemilihan anggota ahl al-hall al-‘aqd melalui seleksi dalam masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat akan melihat orang-orang yang terpandang dan mempunyai integritas pribadi serta memiliki perhatian yang besar untuk menjadi anggota ahl al-hall al-‘aqd .
3. Sisamping itu, ada juga anggota ahl al-hall al-‘aqd yang diangkat oleh kepala negara.
Diantara ketiga cara demikian, cara yang pertamalah yang lebih kecil kelemahannya, karena cara ini mencerminkan kehendak rakyat secara bebas. Sedangkan cara yang kedua sangat subyektif sehinga bisa menimbulkan penyimpangan. Sementara cara yang ketiga tidak kondusif bagi independensi anggota ahl al-hall al-‘aqd, karena ia diangkat oleh kepala negara. Dengan demikian posisinya tersubordinasi oleh kepala negara

C. Wizarah
Kata “wizarah” terambil dari kata al-wazr yang berarti al-tsuql atau berat. Dikatakan demikian, karena seorang wazir memikul beban tugas-tugas kenegaraan yang berat. Kepadanyalah dilimpahkan sebagian kebijakasanaan-kebijaksanaan pemerintahan dan pelaksanaannya. Dalam bahasa Arab dan Persia modern, wazir mempunyai pengertian yang sama dengan menteri yang mengepalai departemen dalam pemerintahan. Dalam firt encyclopedia of islam, kata wizarah atau wazir ini diadopsi dari bahasa Persia. Menurut Kitab Zend Avesta, kata ini berasal dari “ziciria”, yang berarti orang yang memutuskan, hakim. Sengan pengertian ini, maka wazir adalah nama suatu kementerian dalam sebuah negara atau suatu kebijaksanaan publik demi kepentingan rakyat, negara atau kerajaan yang bersangkutan .
Sementara al-Mawardi lebih merinci lagi tiga pendapat tentang asal-usul kata wizarah ini.
Pertama , wizarah berasal dari kata al-Wizar, yang berarti al-tsuql (beban), karena wazir memikul tugas yang dibebankan oleh kepala negara kepadanya, seperti pengertian diatas.
Kedua, wizarah terambil dari kata al-Wazar, yang berarti al-malja’( tempat kembali ).
Ketiga, wizarah juga berasal dari al-azr yang berarti al-zhuhr (punggung). Ini sesuai dengan fungsi dan tugas wazir yang menjadi tulang punggung bagi pelaksanaan kekuasaan kepala negara, sebagaimana halnya badan menjadi kuat tegak berdiri karena ditopang oleh pungung.
Dari pengertian – pengertian ini dapat ditarik pemahaman bahwa wazir merupakan pembantu kepala negara (raja atau Khalifah) dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sebab, pada dasarnya, kepala negara sendiri tidak mampu menangani seluruh permasalahan politik dan pemerintahan tanpa bantuan orang –orang yang terpercaya dan ahli di bidangnya masing-masing. Karenanya, kepala negara membutuhkan bantuan tenaga dan pikiran wazir, sehingga sebagian persoalan-persoalan kenegaraan yang berat tersebut dapat dilimpahkan ketangan kanan kepala negara dalam mengurus pemerintahan.
Pengertian wazir sebagaii pembantu dalam pelaksanaan suatu tugas digunakan Al-Quran ketika menyebutkan tugas Nabi Harun membantu Nabi Musa dalam melaksanakan dakwahnya kepada Fir’aun, sebagaimana dalam QS.Furqon:35 :



Dan Kami jadikan saudaramu,Harun sebagai pembantunya dalam (menghadapi Fir’aun).
Wizarah bukanlah suatu ya ng baru dan terdapat pada pemerintahan Islam saja. Wizarah telah ada sejak zaman pra-Islam. Wizarah ini telah dikenal jauh pada masa Mesir Kuno, Bani Israil dan Persia Kuno.
Dalam sejarah Islam, pengertian wazir sebagai pembantu dapat dilihat dari peranan yang dimainkan oleh Abu Bakar dalam membantu tugas-tugas kerasulan dan kenegaraan Nabi Muhammad Saw. Abu Bakar memainkan peranan penting sebagai partner setia Nabi Muhammad. Diantara yang tercatat dalam sejarah adalah kesetiaannya menemani Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Madinah. Sesampai di Madinah, Abu bakar juga __ disamping tentunya sahabat-sahabat lainnya sering dijadikan sebagai teman dalam musyawarah memutuskan berbagai persoalan umat. Pada saat-saat terakhir kehidupan Nabi, Abu Bakar pun menjadi
pengganti Nabi untuk mengimami umat Islam shalat berjama’ah.
Peranan yang sama juga dimainkan oleh ‘Umar ibn al-Khattab. Ketika Abu Bakar menggantikan kedudukan Anbi sebagia khalifah, ‘Umar adalah pembantu setia Abu Bakar. Kepadanya Abu Bakar menyerahkan urusan pengadilan (al-qadha’). Namun, meskipun praktiknya telah dilakukan pada masa ini istilah wazir sendiri belum lagi dikenal.
Setelah ‘Umar menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar, peranan sebagai wazir dimainkan oleh ‘Usman ibn ‘Affan dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Khalifah ‘Umar lebih banyak melakukan musyawarah meminta pendapat dari kedua sahabat ini untuk menentukan kebijaksanaan politik.
Pada masa dinasti Bani Umaiyah juga tidak ada perubahan yang prinsip dalam pemerintahan, kecuali hanya sistem pemerintahannya yang berubah dari sistem yang demokrasi egalitarian (syura) menjadi monarki absolut. Disamping itu, sistem suksesi juga tidak dilakukan melalui musyawarah, tetapi melalui warisan atau penunjukan kepala negara sebelumnya. Pada masa ini juga belum dikenal kata “wazir”. Dinasti ini hanya melanjutkan dan menyempurnakan lembaga formal yang telah ada sejak zaman ‘Umar. Hanya saja, pelaksana lembaga kenegaraan tersebut dinamakan dengan Katib.
Pada masa Bani Abbas kata wazir ini mulai diipakai untuk lembaga kem,enterian negara. Wazir pertama yang diangkat oleh Abu al-‘Abbas al-Saffah pada masa ini adalah Abu Salamah al-Khalla. Kepadanya, khalifah melimpahkan sebagian tugas-tugas kenegaraan. Dia menjalankan tugas-tugasnya atas nama khalifah. Begitu luasnya kekuasaan dan kewenangan Abu Salamah ini, sehingga ia berhak mengangkat mengangkat dan memecat pegawai-pegawai pemerintahan, kepala daerah(gubernur) dan hakim. Pada masa Harun al-Rasyid, wazir yang terkenal adalah keluarga Barmaki. Harun mengangkat Yahya ibn Khalid al-Barmaki sebagai wazir negara dan setelah Yahya meninggal, posisinya digantikan oleh putranya Ja’far al-Barmaki.





PENUTUP

Imamah, khilafah, ahl al-hall wal al-aqd dan wizarah adalah istilah – istilah penting dalam sistem kepemerintahan baik itu sebuah negara, maupun sebuah suku atau kelompok. Yang mana istilah – istilah itu harus ada dan berwujud untuk menjalankan roda kepemerintahan yang ada agar tercipta tatanan masyarakat yang diinginkan.
Istilah – istilah ini bukan hanya ada dan berlaku untuk negara dan agama Islam saja, tetapi untuk negara dan agama lainpun baik dan bagus untuk diterapkan dalam tatanan kepemerintahan.
Sebelum penulis akhiri, sekali lagi penulis mohon maaf apabila didalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan, dan dengan mengharap ridha dari Allah SWT, mudah-mudahan karya yang tidak seberapa ini menjadi amal dan berguna bagi kita semua. Amin.












Penulis








DAFTAR PUSTAKA

Iqbal, Muhammad, Drs,Mag. Fiqih Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Gaya Media Pratama. Jakarta. 2001
Sjadzali, Munawir, Islam Dan Tata Negara, UI Press. Jakarta. 1990
Mahyudin, Anas, Pemikiran Politik Ibn Taimiah, Pustaka, Bandung, 1983
Dahlan, Aziz, Abdul, Ensiklopidi Hukum Islam, Iktiar Baru, Bandung, 1995

Komentar