ILMU HUKUM

PENDAHULUAN

Istilah hukum sekuler dan hukum agama ( Islam ) sering disikapi secara dikotomis. Apabila hukum sekuler dilenturkan pada studi tata negara, hukum itu akan tergambar bersih dari sentuhan agama. Itulah konsekwensi pemisahan agama dari negara. Dengan perkataan lain, transpormasi ajaran agama ke dalam muatan hukum adalah kenisbian. Akan tetapi, ketika transpormasi itu menjadi kemestian, maka bagaimana pun peranan manusia membuat hukum menjadi dominan. Karena itu, penulis tidak sependapat dengan penggunaan hukum sekuler dengan makna hukum buatan manusia semata .
Pernyataan tersebut mencoba memberikan gambaran bahwa baik pada hukum sekuler maupun pada hukum agama sama – sama menempatkan peranan manusia dalam memformulasikan hukum. Tampaknya, ada juga alasan untuk mengatakan bahwa hukum sekuler dan hukuum agama tidak selamanya menjadi suatu yang dikotomis.

PEMBAHASAN
I. Materi Hukum
Pembentukan Hukum Pidana, sebagai salah satu dari lingkup hukum publik, harus melalui suatu mekanisme program legislasi nasional, sehingga proses instrumentasi yang parsial tidak secara langsung menjadi hukum positif. Ini berbeda dengan bidang – bidang hukum privat yang didominasi oleh kesepakatan yang secara langsung mengikat yang bersepakat. Pada tingkat awal, pembentukan hukum membutuhkan sumber materil yang pluralis sebagaimana wilayah keberlakuannya melintas ragam etnis, agama dan warganegara menurut asas domisili. Aspek hukum pidana dalam ajaran Islam, yang dianut bagian terbesar masyarakat Indonesia, menjadi sumber materil pembentukan hukum pidana nasional dan merupakan kemutlakan .
Sekurang–kurangnnya tiga dasar yang memberi posisi kemutlakan tersebut, yaitu :
1. filosofis. Injeksi substansi segi-segi normatif ajaran Islam melahirkan sikap epistimologi yang memberi sumbangan besar bagi pertumbuhan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum dalam kehidupan sosial kultural masyarakat Indonesia.
2. Sosiologis. Sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukkan bahwa cita dan kesadaran hukum dalam kehidupan keislaman memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan, seperti adanya gejala mentahkimkan permasalahan hukum kepada orang yang difigurkan sebagai muhakkam . pada akhirnya, hal itu terkristalisasi menjadi tradisi tauliyah dalam sistem kekuasaan kehakiman nasional.
3. Dasar yuridis. Pada satu segi, fenomena perjalanan panjang sejarah hukum nasional sarat dengan muatan religuitas yang pada akhirnya memberi cita pada bangsa Indonesia. Pada segi lain, tata hukum nasional uang masih dipertahankan oleh pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945 memberlakukan berbagai peraturan hukum, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disusun tidak mempertimbangkan aspek keagamaan, penuh dengan cita kolonialistis. Sudah seharusnya hukum yang kilonialistis itu tidak menjadi satu-satunya sumber materil pembentukan hukum Pidana Nasional, tetapi juga mengambil dari cita dan kesadaran hukum masyarakat Islam di mana habitat hukum tumbuh dan berkembang secara wajar.

Oleh karena itu, segi-segi normatif mengenai kepidanaan dalam ajaran Islam sudah harus menjadi sumber materil Hukum Pidana Nasional. Konstatansi itu ditunjang secara historis oleh Pasal 11 Aturan Peradilan UUD 1945, dan Pasal 29 ayat 2 UUD tersebut. Dengan kata lain, keseluruhan produk program legislasi nasional yang memuat dan memperdulikan hal-hal yang mengandung dimensi keislaman adalah kemutlakan.
Pertanyaan mendasar adalah, langkah apa yang harus dilakukan agar dasar-dasar kemutlakan diatas dapat terwujud. banyak hal yang akan mendahului lahirnya keputusan nasional agar segi-segi hukum pidana dalam ajaran Islam dimasukkan menjadi bagian dari materi muatan hukum pidana nasional. Yaitu :
1. hukum, terutama hukum publik seperti Hukum Pidana, adalah produk politik. Oleh karena itu, harus ada kemauan politik dalam mekanisme program legislasi nasional. Untuk itu, para pelaku politik yang beragama islam ditingkat birokrasi pemerintahan dan lembaga legislatif perlu didorong agar berkemaun politik untuk maksud tadi.
2. Umat Islam harus memberi jaminan konseptual bahwa implementasi had dan qishosh ataupun jild (rajam) tidak melanggar hak kemanusiaan.
3. Hak kemanusiaan yang dipersoalkan berkait dengan pernyataan berikut : yang pokok dalam Had apakah memotong tangan / kaki ataukah terpotongnya: jika memotong saja maka persoalan hak kemanusiaan adalah mengenai terpotongnya tangan seumur hidup; tapi jika yang pokok adalah terpotong maka tidak akan ada persoalan hak kemanusiaan terpidana. Hal itu sama dengan hukum jild. Jika dijild ( rajam ) 100 kali, kemungkinan dia masih hidup , dan lukanya dapat sembuh. Hidup dan sembuh adalah hak kemanusiaan. Sementara terpotong tangan akibat memotong tidak dapat disambungkan lagi guna mengembalikan hak kemanusiaan tadi. Dengan kata lain, hukum pidana Islam bukanah wujud refleksi kekejaman islam.
4. Perlu adanya rumusan operasional mengenai perbedaan dan persamaan jenis-jenis perbuatan pidana di dalam KUHP dengan segi Hukum Pidana Islam. Hal itu dimaksudkan untuk menjadi bahan yang matang bagi penyusunan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional. Selain itu, untuk menjawab pertanyaan apakah dengan rumusan yang ada di dalam hukum pidana yang ada. Demikian pula halnya dengan sanksi pidananya. Oleh karena itu, perlu dibentuk satu kelompok kerja yang membuat rumusan operasional Hukum Pidana Islam dengan bahasa dan struktur perundang-undangan.
5. Ketika Hukum Pidana Islam telah menjadi materi muatan hukum pidana nasional, umat Islam perlu memberikan jaminan yang mengikat bahwa pasal-pasal pidana Islam tadinya hanya pasal diferensiasi. Karena itu, Hukum Pidana Islam hanya berlaku / diterapkan bagi pelaku pidana yang beragama Islam. Dan jika berlaku pidana non-Islam melakukan kejahatan terhadap orang yang beragama Islam , bukanlah itu cukup dekenakan pasal pidana umum.
6. Tentu akan banyak yang mengatakan bahwa pasal pidana yang sudah ada dalam KUHP sudah menampung ketentuan pidana Islam. Dalam hal ini, kita perlu menunjukkan secara jelas dan tegas kekurangan ketentuan pidana yang ada, sehingga perlu ada tambahan atau perubahan dengan ketentuan pidana Islam.
7. Perlu dipertanyakan, sudah sejauh mana kemauan politik dan kesiapan lahir-batin umat Islam untuk memberlakukan ketentuan pidana dan sanksi pidana dalam had, qishosh, jild.
8. Sekolah – sekolah tinggi agama Islam, harus melakukan penelitian untuk mendukung jajak pendapat tersebut. Dengan demikian, pada akhirnya, akan, menjadi ada sebuah naskah akademis bagi tindak lanjut perumusan pasal –pasal pidana Islam dalam bahasa dan konstruksi perundang-undangan.
9. Umat Islam melalui kalangan akademisi dan intelektualnya perlu mengeksplorasi langkah strategis dalam upaya transpormasi hukum pidana Islam kedalam sistem hukum nasional. Sidang Umum Majelis Permusyawaratan (MPR) tahun 1999 adalah peluang yang strategis untuk mengawali langkah panjang, agar setidak-tidaknya memasukkan kostalasi umum kedalam Ketetapan (TAP) MPR mengenai perlunya jajak pendapat tentang keberlakuan hukuman pidana Islam. Menjelang sidang MPR 2004, hasil jajak pendapat dan bahkan naskah akademis hendaknya sudah terkonsepsi secara matang dan diharapkan menjadi materi muatan dalam ketetapannya berupa perintah untuk menindaklanjutinya ke dalam program legislasi nasional. Dengan demikian, tampaknya masih dibutuhkan waktu minimal sepuluh tahun untuk menyiapkan pelaksanaan Hukum Pidana Islam.
10. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan Hukum Pidana Islam, pluralitas masyarakat Indonesia tidak hanya dilihat dari segi agama, etnis, budaya dan teritorialnya. Yang berkait secara langsung dengan kamauan dan kesiapan politik dan psikologis masyarakat Islam adalah kualitas pemahaman tentang posisi wajibnya pelaksanaan hukum pidana Islam, yang justru masih sangat pluralistis. Oleh karena itu, sosialisasi, tujuan, kegunaan dan implikasi penegakan Hukum Pidana Islam menjadi mutlak.
II. Penegakkan Hukum
Penegakkan hukum membicarakan mana hukum yang dilanggar, dan bagaimana cara menegakkannya. Tatkala pernyataan itu dikaitkan dengan Hukum Pidana Islam, yang jadi persoalan adalah mana hukum pidana yang dilanggar dan bagaimana cara menegakkannya. Apakah Hukum Pidana Islam telah menjadi Hukum Pidana Indonesia, dan apakah telah terjadi pelanggaran atasnya ?
Untuk Hukum Pidana Islam, yang menurut asas legalitas dikatagorikan sebagai hukum tidak tertulis, masih dapat diakui secara konstitusional sebagai hukum, dan masih terus berlaku menurut Pasal II Aturan Pendidikan UUD 1945. Namun demikian, ketentuan dasar itu belum ditindaklanjuti dengan istrumen hukum untuk masuk kedalam wujud instrumen hukum asas legalitas. Posisi Hukum Pidana Islam belum terdapat kepastian untuk menjawab pertanyaan teoritis; mana hukum pidana dengan karenanya bagaimana ia ditegakkan.
Apabila pernyataan diatas dikaitkan dengan asas Hukum nullum delictum nulapoene sine praevia leg poenali,maka Hukum Pidana Islam seperti yang terdapat dalam sumber-sumber hukum Islam belum bisa menjawab ‘ mana hukum pidana’ Bagi KUHP, hal itu telah dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 1 nya. Yaitu bahwa tidak ada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan hukum pidana dalam undang-undang yang diadakan pada waktu sebelumnya perbuatan itu terjadi. Sebenarnya, baik asas hukum di atas maupun klausula hukum didalam Pasal 1 ayat 1 KUHP telah terlebih dahulu tercantum dalam al-Quran surat al_Isra ayat 15. Oleh karena itu, untuk memenuhi azas legalitas dalam sistem hukum nasional, sekurang-kurangnnya perlu diperdulikan sepuluh langkah akomodatif di atas.
Pada dasarnya, penegakkan hukum dalam kondisi kongkretnya dilakukan hakim didepan pengadilan. Peran hakim menegakkan hukum idana termasuk Hukum Pidana Islam sangat menentukan, dan bukan dengan rumusan mati dari suatu pasal perundang-undangan. Hakim mempunyai kewenangan dan kekuasaan mandiri dan merdeka dari pengaruh yang internalistis, apalagi yang eksternalistis, pada saat mengadili, memutuskan dan menyelesaikan suatu perkara pidana.
Kemerdekaan hakim mengadili, memutuskan dan menyelasaikan perkara tadi harus didukung oleh kualitas hakim itu sendiri, dengan wawasan pengetahuan yang luas, antara lain dibidang Hukum Pidana Islam. Pusat pendidikan sumber daya hakim, seperti Fakultas Hukum di berbagai Perguruan Tinggi, sudah saatnya diakomodir dengan substansi kurikuler dengan mata kuliah Hukum Acara Pidana Islam.
Sekalipun posisi legalitas Hukum Pidana Islam masih seperti yang digambarkan diatas, namun wawasan pengetahuan hukum seperti tadi akan berimplikasi pada proses penuntutan yang dilakukan hakim. Bukankah yang demikian juga merupakan salah satu bentuk penegakkan Hukum Pidana Islam?.
Apa yang terjadi di sebuah Pengadilan Negeri beberapa tahun silam menjadi bentuk nyata dari konstalasi di atas. Jaksa Penuntut umum (JPU) dalam sidang perkara pidana dipengadilan negeri Surabaya menuntut menyidangkan perkara yang didakwa melakukan perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa satu keluarga (suami, istri, anak-anaknya). Dalam kesempatan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa terdakwa melakukan perbuatan yang telah terbukti dan dengan meyakinkan, dan terdakwa dijatuhi hukuman mati. Didalam surat dakwaannya, JPU menyatakan antara lain, bahwa terdakwa menganut agama Islam, dan para korban pembunuhan juga dari keluarga yang beragama Islam.
Oleh karena itu, patut bagi JPU untuk mendasarkan dakwaan pada segi-egi ajaran agama Islam sepanjang mengenai perkara pembunuhan, sehingga kepada terdakwa harus dituntut untuk dijatuhi hukuman mati. JPU, sebelum mengaitkan tuntutan atas terdakwa, menanyakan terlebih dahulu kepada keluarga korban apkan akan memaafkan terdakwa atau tidak, dan ternyata korban tidak bersedia memaafkannya. Menurut JPU, karena keluarga korban tidak memaafkan terdakwa, maka dasar-dasar tuntutan hukuman mati sudah cukup sempurna. Dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim pengadilan Negeri Surabaya menyatakan menerima seluruh dakwaan JPU. Oleh karena itu, hakim berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti dan secara menyakinkan telah melakukan perbuatan pidana. Atas dasar pertimbangan itu, yang didalamnya terdapat konsiderasi segi-segi Hukum Pidana Islam, maka hakim menjatuhkan hukuman mati pada terdakwa.
Dari contoh kasus pidana tersebut di atas, terlihat bahwa al-qotlu bil qotli telah diterapkan oleh JPU dalam tuntutannya, serta ditegakkan oleh hakim dalam putusannya. Bukankah yang demikian itu sebagai contoh konkrit Hukum Pidana Islam.
Mungkin kita dapat mengatakan ya pada contoh tersebut di atas. Akan tetapi bagaimana dengan tindak pidana pembunuhan yang dijatuhi dengan hukuman penjara tujuh tahun potong tangan ?. dalam teori Hukum Pidana Islam, hukuman deterapkan pada kasus semacam itu. Persoalan yang demikianlah yang meminta akomodasi akademis dari kalangan Perguruan Tinggi untuk membahanya secara komprehensif.
Satu catatan yang perlu dikemukakan disini adalah bahwa jika rinsip dalam Hukum Pidana Islam, seperti al-qotlu bil qotli, al-udzuna bil udzuni dan lainnya diterapkan, maka berarti Hukum Pidana Islam tidak menganut hukuman pembatasan kemerdekaan yang dalam wujudnya berupa hukuman penjara. Dengan perkataan lain, Hukuman Pidana Islam tidak menganut sistem penjara ( lembaga Pemasyarakatan ). Penghukuman dalam pidana Islam dimaksudkan untuk membuat pelaku menjadi jera, mungkinkah terimplementasi dalam upaya penyadaran dalam sistem penjara. Saya pikir hal itu perlu juga mendapat perhatian dalam studi Perbandingan Hukum Pidana.
Apabila para JPU dan hakim mendapat wawasan pengetahuan kepidanaan Islam, dan memahami secara filosofis nilai-nilai kemasyarakatan dalam maqoshid al-syar’iyyah dari hudud, qishosh, dan jilid, besar kemungkinan mereka akan mewarnai dakwaan dan putusan dengan nuansa Hukum Pidana Islam.

PENUTUP
Banyak hal yang menjadi obyek kajian dalam studi hukum pidana Islam. Jika studi itu menjadi bagian substansi dari lembaga pendidikan hukum dan perguruan Tinggi, maka setidak-tidaknya akan mengembangkan pemikiran mengenai bebasnya pengaruh yang emosionalistis dan pada akhirnya melahirkan hasil kajian yang obyektif. Harus difahami bahwa antarbidang tentu mempunyai kaitan antara satu dengan lainnya. Sebab itu, studi mengenai perbandingan Hukum Pidana Islam menjadi penghubung antara berbagai studi hukum pidana.
Oleh karena itu, sudah waktunya merangsang Fakultas Hukum di berbagai Pendidikan Tinggi agar mulai merancang kurikulum dengan memasukkan studi Hukum Pidana Islam dalam berbagai aspeknya. Hal ini sejalan juga dengan sudah berkembangnya studi hukum bisnis Islam atau hukum perikatan Islam pada pusat-pusat studi hukum.
Pembahasan mengenai perlunya transformasi Hukum Pidana Islam dalam sistem hukum nasional harus mulai disosialisasikan. Pada saat demikian akan berkembang pergulatan pemikiran mengenai sekularisme dan Islamisme dibidang ilmu hukum dalam upaya mengoprasionalisasikan prinsip yang filosofis untuk menggali maqooshid al-syar’iyyah dari segi-segi kepidanaan Islam.
Reformulasi segi normatif dari ajaran Islam sepanjang mengenai Hukum Pidana menjadi keharusan tatkala masih ditemukan kontroversi pendapat mengenai formulasi hukum dan sanksi-sanksi atas pelanggaran hukum dari kalangan ahli fiqh. Reformulasi dalam bahasa dan konstruksi perundang-undangan menjadi upaya mempermudah proses transformasinya ke dalam sistem Hukum Pidana Islam tidak berhadapan dengan segi kemanusiaan dan kesan-kesan kekejaman.
Hukum Pidana Islam tidak berdiri sendiri, terutama tatkala transformasi berproses. Sebagian hukum publik, ia berkait dengan kepentingan yang pluralistik, sehingga tidak mungkin langkah anarkis menjadi alternatif. Oleh karena itu, kebijakan politik yang arif, jujur dan adil menjadi instrumen politik dalam mengakomodasi cita dan kebutuhan hukum masyarakat Islam.
Pembahasan dalam mekanisme program legislasi nasional sepanjang materi muatannya bersentuhan dengan hukum Islam selalu saja menumbuhkan pluralitas pandangan. Sebaliknya, sebuah konsep Hukum Pidana Islam yang hendak diposisikan dalam sistem Hukum Pidana Nasional kemungkinan besar akan mengembangkan benih-benih disintegrasi pandangan politik.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,Abdul Gani,Hukum Islam dalam Sistem Masyarakat Indonesia, al-Hikmah, Jakarta, 1997
Effendi, Satria, Pencurian dan perampokan dalam Perspektif Hukum islam, IAIN Syarif hadayatullah, Jakarta, 1999
Malik, H.M.Abduh,Qishosh dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, IAIN Sahid, Jakarta, 1999

Komentar